Artikel

A. PENDAHULUAN
Wacana yang paling fundamental dalam kajian hadis adalah persoalan otentisitas dan reliabilitas metodologi otentifikasi hadis. Keraguan sebagian sarjana Muslim atas peran hadis sebagai sumber otoritas kedua setelah al-Qur’an, tidak sepenuhnya berkaitan dengan resistensi mereka atas otoritas sunnah, tetapi lebih pada keraguan mereka atas keakuratan metodologi yang digunakan dalam menentukan originalitas hadis. Apabila metodologi otentifikasi yang digunakan bermasalah, maka semua hasil yang dicapai dari metode tersebut tidak steril dari kemungkinan kemungkinan verifikasi ulang, kritik sejarah bahkan hasil tersebut bisa menjadi collapse.
Posisi hadis sebagai sumber otoritas Islam. Hadis yang dianggap sebagai verbalisasi sunnah oleh umat Islam terlalu penting untuk diabaikan dalam kehidupan beragama, sosial dan politik. Hadis bukan hanya sebagai sumber hukum Islam yang berdiri sendiri, tapi juga sebagai sumber informasi yang sangat berharga untuk memehami wahyu Allah. Ia juga sebagai sumber sejarah masa awal Islam. Singkatnya, ada hadis hukum, hadis tafsir dan hadis sebagai sumber sejarah dan moral. Dalam anatomi hukum Islam, hadis merupakan salah satu kalau bukan yang terpenting sumber untuk dikonsultasi.
Dalam upaya melaksanakan perintah Allah Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para sahabat telah menetapkan hal-hal yang menyangkut penyampaian suatu berita dan penerimaannya, terutama jika mereka meragukan kejujuran si pembawa berita. Berdasarkan hal itu, tampak nilai dan pembahasan mengenai isnad dalam menerima dan menolak suatu berita. Di dalam pendahuluan kitab Shahih Muslim, dituturkan dari Ibnu Sirin, “Dikatakan, pada awalnya mereka tidak pernah menanyakan tentang isnad, namun setelah terjadi peristiwa fitnah maka mereka berkata, ‘Sebutkanlah kepada kami orang-orang yang meriwayatkan hadits kepadamu.’ Apabila orang-orang yang meriwayatkan hadits itu adalah ahlu sunnah, maka mereka ambil haditsnya. Jika orang-orang yang meriwayatkan hadits itu adalah ahli bid’ah, maka mereka tidak mengambilnya.”
Dalam Al Qur’an Surat Al Hujarrat ayat 6 :
artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu it”.
Karna kompleksnya permbahsan maslah hadits, maka disini kami akan mencoba untuk membahas mengenai syarat seorang perawi dan cara mereka menerima dan menyampaikan riwayat serta penjelasan ilmu yang digunakan uktuk mempelajari hadits, yaitu Riwayah dan Dinayah..
B. PEMBAHASAN
1. Syarat-syarat seorang perawi
a. Sanadnya harus muttasil (bersambung), artinya tiap-tiap perawi betul-betul mendengar dari gurunya. Guru benar-benar mendengar dari gurunya, dan gurunya benar-benar mendengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
b. Perawi harus adil. Artinya, perawi tersebut tidak menjalankan kefasikan, dosa-dosa, perbuatan dan perkataan yang hina. Perawi yang adil adalah perawi yang muslim, baligh (dapat memahami perkataan dan menjawab pertanyaan), berakal, terhindar dari sebab-sebab kefasikan dan rusaknya kehormatan (contoh-contoh kefasikan dan rusaknya kehormatan adalah seperti melakukan kemaksiatan dan bid’ah, termasuk diantaranya merokok, mencukur jenggot, dan bermain musik).
Keadilan dapat dilihat melalui salah satu dari dua hal:
Pertama, bisa dengan ketetapan dua orang yang adil, yaitu dua ulama ta’dil atau salah seorang dari mereka menetapkan keadilannya.
Kedua, bisa juga dengan ketenaran atau kepopuleran. Jadi, barangsiapa yang popular dikalangan ahli ilmu dan banyak yang memujinya, hal itu sudah cukup. Tidak diperlukan lagi penentuan adil baginya. Contoh imam-imam yang terkenal, seperti imam madzhab yang empat, dua Sofiyan, al-Auza’i.
Pendapat Ibnu Abdil Barr dalam Menetapkan Keadilan
Ibnu Abdil Barr berpendapat bahwa setiap orang yang memiliki ilmu, dikenal perhatiannya terhadap ilmunya, maka ia telah menyandang sifat adil hingga jelas (dijumpai adanya) jarh (cacat). Beliau beragumen dengan dalil, “Ilmu ini akan dibawa oleh setiap orang yang mengikuti keadilannya, terhindar dari penyimpangan orang-orang yang dusta, meniru-niru orang yang bathil, dan penafsiran orang-orang yang bodoh.” (HR. Ibnu ‘Adi dalam kitab Al-Kamil)
Pendapat beliau ini tidak diterima oleh para ulama karena haditsnya tidak shahih. Malah, tidak bisa tidak bisa men-shahih-kannya sebab makna dari ilmu ini diemban oleh setiap orang yang adil, realitanya justru ada juga orang-orang yang tidak adil mengembannya.
c. Betul-betul hafal.
Bahwa hadits yang disampaikan oleh perawi, si perawi harus betul-betul hafal terhadap hatis yang akan disampaikan. Sehingga hadits benar-benar dapat dijadikan sandaran.
d. Tidak bertentangan dengan perawi yang lebih baik dan lebih dapat dipercaya.
Rawi yang dlabith dapat diketahui melalui kesesuaian riwayatnya dengan rawi tsiqah yang cermat. Jika riwayatnya itu lebih banyak yang sesuai dengan rawi-rawi yang tsiqah, maka ia dlabith. Dan hal itu tidak rusak meskipun ada sedikit riwayatnya yang menyelisihi mereka. Namun, jika banyak dari riwayatnya itu menyelisihi riwayat rawi-rawi tsiqah, maka ke-dlabith-annya bisa hilang dan tidak bisa dijadikan hujjah.
e. Tidak berillat, yakni tidak memiliki sifat yang membuat haditsnya tidak diterima. Kedudukan haditsnya tidak syadz (janggal), tidak ada sesuatu yang tersembunyi atau tidak nyata yang menyebabkan hadits menjadi cacat (illat).
2. Proses Transformasi Hadits
Yang dimaksud dengan “jalan menerima hadits” (thuruq at-tahammul) adalah cara-cara menerima hadits dan mengambilnya dari Syaikh.
Dan yang dimaksud dengan “bentuk penyampaian” (sighatul-ada’) adalah lafadh-lafadh yang digunakan oleh ahli hadits dalam meriwayatkan hadits dan menyampaikannya kepada muridnya, misalnya dengan kata : sami’tu ( سَمِعْتُ) “Aku telah mendengar”; haddatsani ( حَدَّثَنِي) “telah bercerita kepadaku”; dan yang semisal dengannya.
Dalam menerima hadits tidak disyaratkan seorang harus muslim dan baligh. Inilah pendapat yang benar. Namun ketika menyampaikannya, disyaratkan harus Islam dan baligh. Maka diterima riwayat seorang muslim yang baligh dari hadits yang diterimanya sebelum masuk Islam atau sebelum baligh, dengan syarat tamyiz atau dapat membedakan (yang haq dan yang bathil) sebelum baligh. Sebagian ulama memberikan batasan minimal berumur lima tahun. Namun yang benar adalah cukup batasan tamyiz atau dapat membedakan. Jika ia dapat memahami pembicaraan dan memberikan jawaban dan pendengaran yang benar, itulah tamyiz dan mumayyiz. Jika tidak, maka haditsnya ditolak.
Jalan untuk menerima dan menyampaikan hadits ada delapan, yaitu as-sama’ atau mendengar lafadh syaikh; al-qira’ah atau membaca kepada syaikh; al-ijazah, al-munawalah, al-kitabah, al-I’lam, al-washiyyah, dan al-wijadah. Berikut ini masing-masing penjelasannya berikut lafadh penyampaian masing-masing :
a. As-Sama’ atau mendengar lafadh syaikh (guru).
Gambarannya : Seorang guru membaca dan murid mendengarkan; baik guru membaca dari hafalannya atau tulisannya, dan baik murid mendengar dan menulis apa yang didengarnya, atau mendengar saja, dan tidak menulis. Menurut jumhur ulama, as-sama’ ini merupakan bagian yang paling tinggi dalam pengambilan hadits.
Lafadh-lafadh penyampaian hadits dengan cara ini adalah aku telah mendengar dan telah menceritakan kepadaku. Jika perawinya banyak : kami telah mendengar dan telah menceritakan kepada kami. Ini menunjukkan bahwasannya dia mendengar dari sang syaikh bersama yang lain.
Adapun lafadh : telah berkata kepadaku atau telah menyebutkan kepadaku, lebih tepat untuk mendengarkan dalam mudzakarah pelajaran, bukan untuk mendengarkan hadits.
b. Al-Qira’ah atau membaca kepada syaikh. Para ahli hadits menyebutnya : Al-Ardl
Bentuknya : Seorang perawi membaca hadits kepada seorang syaikh, dan syaikh mendengarkan bacaannya untuk meneliti, baik perawi yang membaca atau orang lain yang membaca sedang syaikh mendengarkan, dan baik bacaan dari hafalan atau dari buku, atau baik syaikh mengikuti pembaca dari hafalannya atau memegang kitabnya sendiri atau memegang kitab orang lain yang tsiqah.
Mereka (para ulama) berselisih pendapat tentang membaca kepada syaikh; apakah dia setingkat dengan as-sama’, atau lebih rendah darinya? Yang benar adalah lebih rendah dari as-sama’.
Ketika menyampaikan hadits atau riwayat yang dibaca si perawi menggunakan lafadh-lafadh : aku telah membaca kepada fulan atau telah dibacakan kepadanya dan aku mendengar orang membaca dan ia menyetujuinya.
Lafadh as-sama’ berikutnya adalah yang terikat dengan lafadh qira’ah seperti : haddatsana qira’atan ‘alaih (ia menyampaikan kepada kami melalui bacaan orang kepadanya). Namun yang umum menurut ahli hadits adalah dengan menggunakan lafadh akhbarana saja tanpa tambahan yang lain.
c. Al-Ijazah
Yaitu : Seorang Syaikh mengijinkan muridnya meriwayatkan hadits atau riwayat, baik dengan ucapan atau tulisan. Gambarannya : Seorang syaikh mengatakan kepada salah seorang muridnya : Aku ijinkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku demikian.
Di antara macam-macam ijazah adalah :
Ø Syaikh mengijazahkan sesuatu yang tertentu kepada seorang yang tertentu. Misalnya dia berkata,“Aku ijazahkan kepadamu Shahih Bukhari”. Di antara jenis-jenis ijazah, inilah yang paling tinggi derajatnya.
Ø Syaikh mengijazahkan orang yang tertentu dengan tanpa menentukan apa yang diijazahkannya. Seperti mengatakan,“Aku ijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan semua riwayatku”.
Ø Syaikh mengijazahkan kepada siapa saja (tanpa menentukan) dengan juga tidak menentukan apa yang diijazahkan, seperti mengatakan,“Aku ijazahkan semua riwayatku kepada semua orang pada jamanku”.
Ø Syaikh mengijazahkan kepada orang yang tidak diketahui atau majhul. Seperti dia mengatakan,“Aku ijazahkan kepada Muhammad bin Khalid Ad-Dimasyqi”; sedangkan di situ terdapat sejumlah orang yang mempunyai nama seperti itu.
Ø Syaikh memberikan ijazah kepada orang yang tidak hadir demi mengikutkan mereka yang hadir dalam majelis. Umpamanya dia berkata,“Aku ijazahkan riwayat ini kepada si fulan dan keturunannya”.
Bentuk pertama (a) dari beberapa bentuk di atas adalah diperbolehkan menurut jumhur ulama, dan ditetapkan sebagai sesuatu yang diamalkan.
Dan inilah pendapat yang benar. Sedangkan bentuk-bentuk yang lain, terjadi banyak perselisihan di antara para ulama. Ada yang bathil lagi tidak berguna.
Lafadh-lafdh yang dipakai dalam menyampaikan riwayat yang diterima dengan jalur ijazah adalah ajaza li fulan (beliau telah memberikan ijazah kepada si fulan), haddatsana ijaazatan, akhbarana ijaazatan, dan anba-ana ijaazatan (beliau telah memberitahukan kepada kami secara ijazah).
d. Al-Munaawalah atau menyerahkan.
Al-Munawalah ada dua macam :
Ø Al-Munawalah yang disertai dengan ijazah. Ini tingkatannya paling tinggi di antara macam-macam ijazah secara muthlaq. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid, lalu mengatakan kepadannya,“Ini riwayatku dari si fulan, maka riwayatkanlah dariku”. Kemudian buku tersebut dibiarkan bersamanya untuk dimiliki atau dipinjamkan untuk disalin. Maka diperbolehkan meriwayatkan dengan seperti ini, dan tingkatannya lebih rendah daripada as-sama’ dan al-qira’ah.
Ø Al-Munawalah yang tidak diiringi ijazah. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid dengan hanya mengatakan : “Ini adalah riwayatku”. Yang seperti ini tidak boleh diriwayatkan berdasarkan pendapat yang shahih. Lafadh-lafadh yang dipakai dalam menyampaikan hadits atau riwayat yang diterima dengan jalan munawalah ini adalah jika si perawi berkata : nawalanii wa ajazanii, atau haddatsanaa munawalatan wa ijazatan, atau akhbarana munawalatan.
e. Al-Mukatabah
Yaitu : Seorang syaikh menulis sendiri atau dia menyuruh orang lain menulis riwayatnya kepada orang yang hadirs di tempatnya atau yang tidak hadir di situ.
Kitabah ada 2 macam :
Ø Kitabah yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan syaikh,“Aku ijazahkan kepadamu apa yang aku tulis untukmu”, atau yang semisal dengannya. Dan riwayat dengan cara ini adalah shahih karena kedudukannya sama kuat dengan munaawalah yang disertai ijazah.
Ø Kitabah yang tidak disertai dengan ijazah, seperti syaikh menulis sebagian hadits untuk muridnya dan dikirimkan tulisan itu kepadanya, tapi tidak diperbolehkan untuk meriwayatkannya. Di sini terdapat perselisihan hukum meriwayatkannya. Sebagian tidak memperbolehkan, dan sebagian yang lain memperbolehkannya jika diketahui bahwa tulisan tersebut adalah karya syaikh itu sendiri.
f. Al-I’lam As Syaikh (memberitahu)
Yaitu : Seorang syaikh memberitahu seorang muridnya bahwa hadits ini atau kitab ini adalah riwayatnya dari si fulan, dengan tidak disertakan ijin untuk meriwayatkan daripadanya.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum meriwayatkan dengan cara al-I’lam. Sebagian membolehkan dan sebagian yang lain tidak membolehkannya.
Ketika menyampaikan riwayat dengan cara ini, si perawi berkata : A’lamanii syaikhi (guruku telah memberitahu kepadaku).
g. Al-Washiyyah (mewasiati)
Yaitu : Seorang syaikh mewasiatkan di saat mendekati ajalnya atau dalam perjalanan, sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi.
Riwayat yang seorang terima dengan jalan wasiat ini boleh dipakai menurut sebagian ulama, namun yang benar adalah tidak boleh dipakai.
Ketika menyampaikan riwayat dengan wasiat ini perawi mengatakan : Aushaa ilaya fulaanun bi kitaabin (si fulan telah meqasiatkan kepadaku sebuah kitab), atau haddatsanii fulaanun washiyyatan (si fulan telah bercerita kepadaku dengan sebuah wasiat).
h. Al-Wijaadah (mendapat)
Yaitu : Seorang perawi mendapat hadits atau kitab dengan tulisan seorang syaikh dan ia mengenal syaikh itu, sedang hadots-haditsnya tidak pernah didengarkan ataupun ditulis oleh si perawi.
Wijadah ini termasuk hadits munqathi’, karena si perawi tidak menerima sendiri dari orang yang menulisnya.
Dalam menyampaikan hadits atau kitab yang didapati dengan jalan wijadah ini, si perawi berkata,“Wajadtu bi kaththi fulaanin” (aku mendapat buku ini dengan tulisan si fulan), atau “qara’tu bi khththi fulaanin” (aku telah membaca buku ini dengan tulisan si fulan); kemudian menyebutkan sanad dan matannya.
3. Ilmu Riwayah dan Dinayah
Ilmu hadits berarti ilmu yang mempelajari tentang sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw,dan para ahli hadits membagi pembahasan ilmu hadits ini kepada dua cabang yaitu ilmu hadits riwayah dan ilmu hadits dirayah.
a. Ilmu Hadist Riwayah
Ilmu yang meliputi pemindahan (periwayatan) perkataan Nabi saw, dan perbuatannya serta periwatannya, pencatatannya dan penguraian lafaz-lafaznya. Nah, objek kajian ilmu hadist riwayah ini meliputi cara periwayatan hadist, baik dari sisi cara penerimaan dan juga cara penyampaiannya dari seorang rawi ke rawi lainnya. Dan cara pemeliharaan hadist, baik dari segi penghapalannya dan kodifikasinya.
b. Ilmu Hadis Dirayah.
Ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara menerima dan menyampaikan hadis, sifat rawi, dan lain-lain.
Ilmu hadis riwayah bertujuan untuk memelihara hadis Nabi SAW dari kesalahan dalam proses periwayatan atau dalam hal penulisan dan pembukuannya. Lebih lanjut ilmu ini juga bertujuan agar umat Islam menjadikan Nabi SAW sebagai suri teladan melalui pemahaman terhadap riwayat yang berasal darinya dan mengamalkannya. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah al-Ahzab (33) ayat 21 yang artinya: "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu "
Ilmu hadist dirayah bertujuan untuk mengetahui hukum keadaan para perawi dan jenis yang diriwayatkan. Tujuan ilmu ini untuk mengetahui dan menetapkan hadist-hadist itu maqbul (diterima) atau mardud (ditolak).
Kajian dari ilmu dirayah ini adalah sanad dan matan yang terkandung di dalamnya yang mempengaruhi kualitas hadits. Kajian yang besangkutan dengan masalah-masalah sanad disebut naqd-as sanad (kritik sanad) atau kritik ekstern karena yang dibahas adalah akurasi dari jalur periwayatan. Sedangkan kajian yang bersangkutan dengan masalah matan di sebut naqd al-matan (kritik matan) atau kritik intern karena yang di bahas adalah materi hadits itu sendiri.
Ilmu Hadis Riwayah ini sudah ada sejak periode Rasulunah SAW sendiri, bersamaan dengan dimulainya periwayatan hadis itu sendiri. Sebagaimana diketahui, para sahabat menaruh perhatian yang tinggi terhadap hadis Nabi SAW. Mereka berupaya mendapatkannya dengan menghadiri majelis Rasulullah SAW serta mendengar dan menyimak pesan atau nasihat yang disampaikan Nabi SAW.
Mereka juga memperhatikan dengan seksama apa yang dilakukan Rasulullah SAW, baik dalam beribadah maupun dalam aktivitas sosial, dan akhlak Nabi SAW sehari-hari. Semua itu mereka pahami dengan baik dan mereka pelihara melalui hafalan mereka. Selanjutnya mereka menyampaikannya dengan sangat hati-hati kepada sahabat lain atau tabiin. Para tabiin pun melakukan hal yang sama, memahami hadis, memeliharanya, dan menyampaikannya kepada tabiin lain atau tabi'ut- tabi'in (generasi sesudah tabiin).
Demikianlah periwayatan dan pemeliharaan hadis Nabi SAW berlangsung hingga usaha penghimpunan yang dipelopori oleh Az-Zuhri ( Ulama yang disuruh oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz r.a, nama aslinya Abu Bakar Muhammad Asy-Ayihab Az Zuhri hidup thn 51-124 H). Usaha penghimpunan, penyeleksian, penulisan, dan pembukuan hadis secara besar-besaran dilakukan oleh ulama hadis pada abad ke-3 H, seperti Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam at-Tirmizi, dan ulama- ulama hadis lainnya melalui kitab hadis masing-masing.
Dengan dibukukannya hadis Nabi SAW dan selanjutnya dijadikan rujukan oleh ulama yang datang kemudian, maka pada periode selanjutnya ilmu hadis riwayah tidak lagi banyak berkembang. Berbeda halnya dengan ilmu hadis dirayah yang senantiasa berkembang dan melahirkan berbagai cabang ilmu hadis. Oleh karena itu, pada umumnya yang dibicarakan oleh ulama hadis dalam kitab-kitab ulumul hadis yang mereka susun adalah ilmu hadis dirayah. Dalam perkembangannya, istilah ulumul hadis menjadi sinonim bagi ilmu hadis dirayah. Selain itu, ilmu hadis dirayah disebut juga mustalahu al-hadits (ilmu peristilahan hadis) atau 'ilm usul al-hadis (ilmu dasar hadis).
C. KESIMPULAN
Perawi adlah orang yang menyampaikan atau meriwayatkan hadits.
Proses penyampaian hadits atau “jalan menerima hadits” (thuruq at-tahammul) adalahv cara-cara menerima hadits dan mengambilnya dari Syaikh.
Dalam menerimav hadits tidak disyaratkan seorang harus muslim dan baligh. Inilah pendapat yang benar. Namun ketika menyampaikannya, disyaratkan harus Islam dan baligh. Maka diterima riwayat seorang muslim yang baligh dari hadits yang diterimanya sebelum masuk Islam atau sebelum baligh, dengan syarat tamyiz atau dapat membedakan (yang haq dan yang bathil) sebelum baligh.
Jalan untuk menerima danv menyampaikan hadits ada delapan, yaitu
a. as-sama’ atau mendengar lafadh syaikh;
b. al-qira’ah atau membaca kepada syaikh;
c. al-ijazah,
d. al-munawalah,
e. al-kitabah,
f. al-I’lam,
g. al-washiyyah,
h. dan al-wijadah.
Ilmu hadits berarti ilmu yang mempelajari tentang sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw,dan para ahli hadits membagi pembahasan ilmu hadits ini kepada dua cabang yaitu ilmu hadits riwayah dan ilmu hadits dirayah.
Ilmu Hadist Riwayah : Ilmu yang meliputi pemindahan (periwayatan) perkataan Nabi saw, dan perbuatannya serta periwatannya, pencatatannya dan penguraian lafaz-lafaznya. Nah, objek kajian ilmu hadist riwayah ini meliputi cara periwayatan hadist, baik dari sisi cara penerimaan dan juga cara penyampaiannya dari seorang rawi ke rawi lainnya. Dan cara pemeliharaan hadist, baik dari segi penghapalannya dan kodifikasinya.
Ilmu Hadis Dirayah. Ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara menerima dan menyampaikan hadis, sifat rawi, dan lain-lain.
D. PENUTUP
Demikianlah ulasan tentang syarat-syarat perawi dan proses penyampaian haditss serta ilmu yang digunakan untuk mempelajarinya keduanya, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua, dan kami mohon maaf jika dalam penulisan terdapat salah tulis atau kurang sesuai dalam bahasa, jika memand mengandung kebenaran pujilah Allah SWT. Saran dan kritik sangat kami harapkan demi perbaikan baik dalam pembuatan maupun isi makalah itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Thahan, Mahmud.. Tafsir Musthalah Hadits terjemah: Abu Fuad. Bogor: Pustaka Tariqul Izzah,
Dr. Mahmud Thahan Abu ‘Amr Ibn al-Shaleh, Ilmu Hadits Praktis, ,: Pustaka Thariqul Izzah 2006
ed. Nur al-Din ‘Atr, ‘ulum al-hadits, Madinah: Maktabat al-Ilmiyyah, 1972
M.M Azami, Studies ih Hadith Methologi and Literature.16: Mahmudal-thahhan. Taisir Mushthalah al-Hadist
Drs. M. Ma’sum Zayni, Ulumul Hadits & Mustholah Hadits,
Mahmud al-thahhan, Tatsir Mushthalah al-hadist, Beirut: Dar Al-qur’an al-karim, 1979